MENAPAKI JALAN-NYA
(Seminaris Kelas
Topang 2021/2022)
Pengalaman hidup
merupakan suatu kronologis perjalanan dari penggembaraan kita. Tetesan demi
tetesan waktu terus berdetik seakan tak peduli akan apapun yang dapat menghentikannya.
Waktu dan memorilah yang menjadi komponen utama dari masa depan yang akan kita
hadapi.
***
Dewasa ini, kerap kali manusia tanpa
sadar mengalami perubahan yang begitu signifikan. Waktu terus berlalu, dengan
cepat bagai arus air yang dengan derasnya mengalir. Menyia-nyiakan waktu? Itu
sudah menjadi habitual kita, di luar
sana manusia lain berusaha menggelar kompetisi antarsesama demi mencapai kedudukan
dan kemenangan duniawi. Apalah artinya, jika kita dengan semangat membara
berusaha mencapai kesempurnaan hidup. Namun, tidak dapat menikmati sedikitpun moment dalam hidup kita. Hal tersebut
hanyalah kesia-siaan belaka. Jadi apakah segala sesuatu yang kita lakukan
adalah suatu kesalahan fatal dan kesia-siaan saja? Tentu saja tidak. Yang ditekankan
di sini ialah bagaimana kita mau menghargai setiap proses perjalanan waktu ini
dengan tulus hati dan menciptakan sesuatu yang berarti bagi diri sendiri atau
bahkan bagi orang lain.
Generasi milenial atau juga dikenal
dengan Gen-Z adalah tunas muda
harapan bangsa yang menentukan bagaimana perjalanan dunia ke depannya. Itulah
mengapa pentingnya, pendidikan karakter sedari dini bagi anak. Moral dan etika
menjadi kunci utama dari penanaman karakter bagi anak khususnya generasi
sekarang. Ya memang begitulah, permasalahan yang kerap kali kita hadapi pada
zaman ini.
“Krisis moral” mungkin kata-kata yang
cocok untuk menggambarkan situasi aktual yang sedang terjadi pada bangsa kita.
Kebanyakan dari generasi muda mengalami disposisi dalam menjalani kehidupannya,
entah itu karena lingkungan keluarga, pergaulan ataupun karena situasi dan
kondisi tertentu dapat memicu hal ini. Generasi yang rusak ini tentunya
berpengaruh bagi kualitas bangsa. Bayangkan jika semakin banyak generasi muda
yang mengalami krisis moral, mau jadi apa ke depannya bangsa ini? Jika, pernah
mendengar kalimat “Beda zaman, beda tantangan” nah, hal ini memang benar
adanya. Semakin maju dan berkembang IPTEK tentunya memaksa banyak perubahan
terhadap masing-masing individu dalam segala segi bidang kehidupannya. Banyak
dari kita, lebih mendewakan ilmu
pengetahuan dibandingkan harus beriman kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Hari minggu, bukannya mengikuti Misa malahan lebih
ingin ikut Tournament Game Online karena
hadiahnya memuaskan atau menjadikan
Google sebagai
Allah karena
ia mahatahu. Realitanya, kehidupan kita tak akan lepas dari
yang namanya gadget. Rela berkurung
diri di kamar dan menatap layar monitor sepanjang hari, dibandingkan harus
melakukan aktivitas sosial di luar rumah. Bahkan, anak bayi yang baru lahir sekalipun mungkin sudah mahir menggunakan gadget.
Media sosial menjadi wadah untuk melakukan
aktivitas sosial secara nonfisik, media sosial juga menjadi platform untuk bertukar informasi dan
opini mengenai permasalahan aktual yang terjadi di lingkup sosial maupun sharing mengenai gaya hidup masyarakat. Saking luasnya, apapun dapat
kita akses melalui media sosial. Pengguna media sosial
dapat memilih dan memilah mengenai hal apa yang ingin mereka akses di internet.
Memang
kecanggihan dunia internet ini sangat
memudahkan bagi kita dalam mengerjakan suatu pekerjaan ataupun apapun itu. Namun, jika disalahgunakan oleh beberapa oknum, internet dapat menjadi suatu hal yang merusak generasi muda.
Tidak dipungkiri, konten dewasa seringkali diakses oleh anak di bawah umur, apalagi jika lepas
dari kontrol orang tua. Maka, tak heran melihat anak yang mungkin masih duduk di
bangku Sekolah Dasar. Namun, berkelakuan seperti remaja baru pubertas ataupun
berkelakuan tak wajar layaknya orang dewasa. Bahayanya lagi, jika seseorang yang di bawah umur mencoba mempraktekkan apa yang ia lihat di internet, terlebih dalam
konteks dari dampak negatif yang ditimbulkan.
Kehidupan
berasrama, mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang baru ataupun
dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman. Terutama, jika tinggal di Seminari
Menengah sebagaimana rumor yang beredar, yang mana Seminari Menengah sendiri
merupakan suatu sarana pendidikan khusus bagi orang yang ingin menjadi seorang
imam (dalam agama katolik) atau religius yang pastinya memiliki jadwal kegiatan
yang padat, hidup doa yang menjadi rutinitas sehari-hari, corak hidup
berkomunitas dan sebagainya.
Tidak
semua dari semua seminaris (orang yang menempuh pendidikan di Seminari) yang
memiliki impian untuk menjadi seorang imam. Kebanyakan, mereka masuk Seminari
karena paksaan dari orang tua atau wali. Alasannya, tentu saja karena mereka
memercayakan anak-anak mereka agar dididik oleh biarawan/i ataupun kaum
tertahbis dengan harapan agar mereka memiliki karakter yang baik dan
membiasakan diri untuk memanajemen hidup mereka guna bekal setelah lulus nanti.
Seminari
sendiri, tentunya memiliki visi dan misi untuk mendidik kaum muda baik yang
akan menjadi seorang imam/religius maupun yang tidak untuk berkembang kearah
yang lebih baik dan dapat memiliki daya saing di perguruan tinggi ataupun dunia
kerja. Namun, ada suatu hal yang ditekankan dalam kehidupan di Seminari yaitu,
hidup rohani. Setiap hari wajib mengikuti Misa di gereja, rajin berdevosi dan
sebagainya. Kita dituntut untuk menghayati hidup dan menjadikan Yesus sebagai
model teladan bagi kita.
Namun,
kerap kali juga seorang seminaris sendiri mengalami kekeringan hidup rohani.
Misal, karena mengikuti Misa dengan berat hati (hanya untuk mengikuti jadwal
semata), ataupun tidak pernah bisa tenang dalam berdoa karena banyak tekanan.
Memang, banyak sekali tantangan dalam kehidupan di Seminari. Segalanya sudah
diatur dalam schedule harian yang
mesti dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Jika tidak terbiasa pastilah
berpikir bahwa hal ini sangat berat untuk dijalani alias beban hidup. Belum lagi, tuntutan study dan bekerja tentunya membuat kita cukup kewalahan dalam menghadapinya.
Ditambah lagi dengan
dibatasinya penggunaan gadget,
mengingat zaman sekarang yang serba online. Tentulah membuat
sebagian orang tidak ingin berlama-lama untuk segera keluar dari penjara suci Seminari.
Merupakan
sebuah tantangan bagi Seminari sendiri untuk menyesuaikan diri di tengah perkembangan
zaman yang begitu pesat. Mencoba mempertahankan tradisi untuk membina seminaris
agar tidak salah langkah dan menjauhkannya dari lingkungan buruk yang mengancam
moral dan karakter seminaris itu sendiri. Memang, realitanya niat baik sangat
sulit untuk diterima dibandingkan dengan niat buruk. Artinya, sistem pendidikan
di Seminari bertujuan untuk membina seminaris dengan sebaik mungkin sehingga menjadi seseorang yang
sungguh menjaga keluhurannya sebagai citra dan rupa Allah.
Menjawab
panggilan-Nya adalah suatu cita-cita yang sungguh luhur dan mulia. Baik menjadi
awam maupun imam atau biarawan/i merupakan suatu karunia dan anugerah dari
Tuhan Yang Mahakuasa. Masing-masing dari kita dipanggil untuk mewartakan Kabar
Gembira bagi semua orang, pastinya dengan cara yang berbeda-beda. Begitupun
Tuhan memanggil kita dengan cara unik dan berbeda pada tiap pribadi. Namun,
apakah saat Tuhan Memanggil kita selalu hadir tuk mendengarkan-Nya? Tidak
selalu pastinya, terkadang kita enggan mendengar apalagi menjawab seruan Tuhan
tersebut.
Godaan
duniawi memang terlihat sangat menarik hati, apalagi zaman semakin maju saat
manusia menganggap ilmu pengetahuan dapat melebihi kuasa Tuhan, penciptanya
sendiri. Muda-mudi zaman sekarang lebih suka tidur di hari minggu pagi,
mengonsumsi narkotika, mabuk-mabukan, dan juga pesta hingga larut. Pergumulan
dalam batin kita pribadi bahkan tak mampu untuk berbuat sesuatu. Semakin jauh
diri kita dari Tuhan maka semakin keringlah hidup kita. Setan bahkan dapat
dengan mudah menguasai kita, dan dalam kuasanya cenderung mengarahkan kita ke
perilaku dan perbuatan tercela dan bahkan merugikan diri kita.
Namun,
berbeda jika kita sungguh menjadi sahabat-Nya. Ibarat tanaman kaktus di padang
gurun begitulah juga hidup kita. Walaupun di tengah kekeringan kita tetap dapat
hidup dan kita sungguh dapat menimba kekuatan dari doa kepada Tuhan. Untuk
menjawab panggilan khusus sendiri tentunya banyak yang menjadi tantangan yang
harus dihadapi. Mulai dari tidak menikah, melayani umat Allah dan menjadi
Gembala yang baik baginya. Merupakan suatu realita yang sulit untuk diterima
atau bahkan dijalani. Khususnya kaum muda-mudi sekarang yang maunya tinggal
berdiam diri dan tinggal dalam angan, yang sepertinya enggan untuk berbuat
sesuatu alias mageran.
Memang
tak bisa dipungkiri, mengikut Kristus berarti siap ambil bagian dalam Wafat dan
Sengsara-Nya. Kita mesti sanggup untuk berani mengambil segala konsekuensi yang
ada demi pewartaan kerajaan Allah.
Good��
BalasHapusMantap
BalasHapus