MENAPAKI JALAN-NYA

 


Kristoforus Armadios

(Seminaris Kelas Topang 2021/2022)

 

Pengalaman hidup merupakan suatu kronologis perjalanan dari penggembaraan kita. Tetesan demi tetesan waktu terus berdetik seakan tak peduli akan apapun yang dapat menghentikannya. Waktu dan memorilah yang menjadi komponen utama dari masa depan yang akan kita hadapi.

***

Dewasa ini, kerap kali manusia tanpa sadar mengalami perubahan yang begitu signifikan. Waktu terus berlalu, dengan cepat bagai arus air yang dengan derasnya mengalir. Menyia-nyiakan waktu? Itu sudah menjadi habitual kita, di luar sana manusia lain berusaha menggelar kompetisi antarsesama demi mencapai kedudukan dan kemenangan duniawi. Apalah artinya, jika kita dengan semangat membara berusaha mencapai kesempurnaan hidup. Namun, tidak dapat menikmati sedikitpun moment dalam hidup kita. Hal tersebut hanyalah kesia-siaan belaka. Jadi apakah segala sesuatu yang kita lakukan adalah suatu kesalahan fatal dan kesia-siaan saja? Tentu saja tidak. Yang ditekankan di sini ialah bagaimana kita mau menghargai setiap proses perjalanan waktu ini dengan tulus hati dan menciptakan sesuatu yang berarti bagi diri sendiri atau bahkan bagi orang lain.

Generasi milenial atau juga dikenal dengan Gen-Z adalah tunas muda harapan bangsa yang menentukan bagaimana perjalanan dunia ke depannya. Itulah mengapa pentingnya, pendidikan karakter sedari dini bagi anak. Moral dan etika menjadi kunci utama dari penanaman karakter bagi anak khususnya generasi sekarang. Ya memang begitulah, permasalahan yang kerap kali kita hadapi pada zaman ini.

“Krisis moral” mungkin kata-kata yang cocok untuk menggambarkan situasi aktual yang sedang terjadi pada bangsa kita. Kebanyakan dari generasi muda mengalami disposisi dalam menjalani kehidupannya, entah itu karena lingkungan keluarga, pergaulan ataupun karena situasi dan kondisi tertentu dapat memicu hal ini. Generasi yang rusak ini tentunya berpengaruh bagi kualitas bangsa. Bayangkan jika semakin banyak generasi muda yang mengalami krisis moral, mau jadi apa ke depannya bangsa ini? Jika, pernah mendengar kalimat “Beda zaman, beda tantangan” nah, hal ini memang benar adanya. Semakin maju dan berkembang IPTEK tentunya memaksa banyak perubahan terhadap masing-masing individu dalam segala segi bidang kehidupannya. Banyak dari kita, lebih mendewakan ilmu pengetahuan dibandingkan harus beriman kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Hari minggu, bukannya mengikuti Misa malahan lebih ingin ikut Tournament Game Online karena hadiahnya memuaskan atau menjadikan Google sebagai Allah karena ia mahatahu. Realitanya, kehidupan kita tak akan lepas dari yang namanya gadget. Rela berkurung diri di kamar dan menatap layar monitor sepanjang hari, dibandingkan harus melakukan aktivitas sosial di luar rumah. Bahkan, anak bayi yang baru lahir sekalipun mungkin sudah mahir menggunakan gadget.

Media sosial menjadi wadah untuk melakukan aktivitas sosial secara nonfisik, media sosial juga menjadi platform untuk bertukar informasi dan opini mengenai permasalahan aktual yang terjadi di lingkup sosial maupun  sharing mengenai gaya hidup masyarakat. Saking luasnya, apapun dapat kita akses melalui media sosial. Pengguna media sosial dapat memilih dan memilah mengenai hal apa yang ingin mereka akses di internet. Memang kecanggihan dunia internet ini sangat memudahkan bagi kita dalam mengerjakan suatu pekerjaan ataupun apapun itu. Namun, jika disalahgunakan oleh beberapa oknum, internet dapat menjadi suatu hal yang merusak generasi muda.

Tidak dipungkiri, konten dewasa seringkali diakses oleh anak di bawah umur, apalagi jika lepas dari kontrol orang tua. Maka, tak heran melihat anak yang mungkin masih  duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun, berkelakuan seperti remaja baru pubertas ataupun berkelakuan tak wajar layaknya orang dewasa. Bahayanya lagi, jika seseorang yang di bawah umur mencoba mempraktekkan apa yang ia lihat di internet, terlebih dalam konteks dari dampak negatif yang ditimbulkan.

Kehidupan berasrama, mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang baru ataupun dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman. Terutama, jika tinggal di Seminari Menengah sebagaimana rumor yang beredar, yang mana Seminari Menengah sendiri merupakan suatu sarana pendidikan khusus bagi orang yang ingin menjadi seorang imam (dalam agama katolik) atau religius yang pastinya memiliki jadwal kegiatan yang padat, hidup doa yang menjadi rutinitas sehari-hari, corak hidup berkomunitas dan sebagainya.

Tidak semua dari semua seminaris (orang yang menempuh pendidikan di Seminari) yang memiliki impian untuk menjadi seorang imam. Kebanyakan, mereka masuk Seminari karena paksaan dari orang tua atau wali. Alasannya, tentu saja karena mereka memercayakan anak-anak mereka agar dididik oleh biarawan/i ataupun kaum tertahbis dengan harapan agar mereka memiliki karakter yang baik dan membiasakan diri untuk memanajemen hidup mereka guna bekal setelah lulus nanti.

Seminari sendiri, tentunya memiliki visi dan misi untuk mendidik kaum muda baik yang akan menjadi seorang imam/religius maupun yang tidak untuk berkembang kearah yang lebih baik dan dapat memiliki daya saing di perguruan tinggi ataupun dunia kerja. Namun, ada suatu hal yang ditekankan dalam kehidupan di Seminari yaitu, hidup rohani. Setiap hari wajib mengikuti Misa di gereja, rajin berdevosi dan sebagainya. Kita dituntut untuk menghayati hidup dan menjadikan Yesus sebagai model teladan bagi kita.

Namun, kerap kali juga seorang seminaris sendiri mengalami kekeringan hidup rohani. Misal, karena mengikuti Misa dengan berat hati (hanya untuk mengikuti jadwal semata), ataupun tidak pernah bisa tenang dalam berdoa karena banyak tekanan. Memang, banyak sekali tantangan dalam kehidupan di Seminari. Segalanya sudah diatur dalam schedule harian yang mesti dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Jika tidak terbiasa pastilah berpikir bahwa hal ini sangat berat untuk dijalani alias beban hidup. Belum lagi, tuntutan study dan bekerja tentunya membuat kita cukup kewalahan dalam menghadapinya. Ditambah lagi dengan dibatasinya penggunaan gadget, mengingat zaman sekarang yang serba online. Tentulah membuat sebagian orang tidak ingin berlama-lama untuk segera keluar dari penjara suci Seminari.

Merupakan sebuah tantangan bagi Seminari sendiri untuk menyesuaikan diri di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat. Mencoba mempertahankan tradisi untuk membina seminaris agar tidak salah langkah dan menjauhkannya dari lingkungan buruk yang mengancam moral dan karakter seminaris itu sendiri. Memang, realitanya niat baik sangat sulit untuk diterima dibandingkan dengan niat buruk. Artinya, sistem pendidikan di Seminari bertujuan untuk membina seminaris dengan sebaik mungkin sehingga menjadi seseorang yang sungguh menjaga keluhurannya sebagai citra dan rupa Allah.

Menjawab panggilan-Nya adalah suatu cita-cita yang sungguh luhur dan mulia. Baik menjadi awam maupun imam atau biarawan/i merupakan suatu karunia dan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Masing-masing dari kita dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira bagi semua orang, pastinya dengan cara yang berbeda-beda. Begitupun Tuhan memanggil kita dengan cara unik dan berbeda pada tiap pribadi. Namun, apakah saat Tuhan Memanggil kita selalu hadir tuk mendengarkan-Nya? Tidak selalu pastinya, terkadang kita enggan mendengar apalagi menjawab seruan Tuhan tersebut.

Godaan duniawi memang terlihat sangat menarik hati, apalagi zaman semakin maju saat manusia menganggap ilmu pengetahuan dapat melebihi kuasa Tuhan, penciptanya sendiri. Muda-mudi zaman sekarang lebih suka tidur di hari minggu pagi, mengonsumsi narkotika, mabuk-mabukan, dan juga pesta hingga larut. Pergumulan dalam batin kita pribadi bahkan tak mampu untuk berbuat sesuatu. Semakin jauh diri kita dari Tuhan maka semakin keringlah hidup kita. Setan bahkan dapat dengan mudah menguasai kita, dan dalam kuasanya cenderung mengarahkan kita ke perilaku dan perbuatan tercela dan bahkan merugikan diri kita.

Namun, berbeda jika kita sungguh menjadi sahabat-Nya. Ibarat tanaman kaktus di padang gurun begitulah juga hidup kita. Walaupun di tengah kekeringan kita tetap dapat hidup dan kita sungguh dapat menimba kekuatan dari doa kepada Tuhan. Untuk menjawab panggilan khusus sendiri tentunya banyak yang menjadi tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari tidak menikah, melayani umat Allah dan menjadi Gembala yang baik baginya. Merupakan suatu realita yang sulit untuk diterima atau bahkan dijalani. Khususnya kaum muda-mudi sekarang yang maunya tinggal berdiam diri dan tinggal dalam angan, yang sepertinya enggan untuk berbuat sesuatu alias mageran.

Memang tak bisa dipungkiri, mengikut Kristus berarti siap ambil bagian dalam Wafat dan Sengsara-Nya. Kita mesti sanggup untuk berani mengambil segala konsekuensi yang ada demi pewartaan kerajaan Allah.

Komentar

Posting Komentar

Terpopuler